FLORES TIMUR, NUSA TENGGARA TIMUR – Erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki yang terjadi pada Senin (4/11/2024) dini hari telah menyebabkan sepuluh orang meninggal dunia dan memaksa lebih dari 10 ribu warga di tujuh desa di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), untuk mengungsi. Letusan gunung setinggi 1.584 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut terpantau di seismogram dengan amplitudo maksimum 47,3 mm dan berlangsung selama ±24 menit 10 detik.
Akibat erupsi ini, tiga bandara di Pulau Flores telah ditutup, dan status gunung api ditetapkan pada level IV atau Awas sejak 3 November 2024. Tim Dompet Dhuafa melalui Disaster Management Center (DMC) NTT segera merespons peristiwa ini dengan mengerahkan relawan untuk melakukan asesmen dasar. Berdasarkan hasil asesmen sementara yang dilakukan pada Selasa (05/11/2024), dilaporkan bahwa lima sekolah mengalami kerusakan, dan lebih dari 1.200 jiwa kini mengungsi di berbagai lokasi.
Salah satu dampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki pada Senin (04/11/2024) di Flores Timur, NTT.
“Proses asesmen masih kami lakukan meskipun terkendala pasokan listrik yang terbatas. Berdasarkan asesmen sementara, kebutuhan darurat yang mendesak saat ini adalah makanan, obat-obatan, popok bayi, pembalut wanita, dan pakaian layak pakai,” ujar Muhidur, anggota tim respon DMC Dompet Dhuafa NTT.
Relawan DMC di NTT dalam asesmen kebutuhan dasar dampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki, Senin (04/11/2024).
Muhidur juga menyampaikan bahwa pihaknya sedang melakukan survei lokasi pengungsian untuk mendirikan dapur umum dan pos hangat guna mendukung para pengungsi. “Kami akan mulai mendirikan dapur umum dan pos hangat pada esok hari,” tambahnya.
Sementara itu, menurut informasi dari BPBD Kabupaten Flores Timur dan PUSDALOPS BNPB, Pemerintah Kabupaten Flores Timur telah memperpanjang status Siaga Darurat Bencana Gunung Lewotobi Laki-laki hingga 31 Desember 2024. Di Desa Dulipali, Kecamatan Ile Bura, serta Desa Lewolaga, Kecamatan Titehena, warga dan pemerintah setempat telah mempersiapkan fasilitas sekolah sebagai tempat pengungsian sementara untuk masyarakat terdampak.